Renungan Hindu

Percakapan Arjuna & Krishna (Mahabharata )

 Sebagai renungan dalam menjalani hidup ini, silahkan disimak dan semoga bermanfaat.

Percakapan 1: Kegelisahanmu membuktikan kau masih hidup !
Arjuna:
Mereka memang serakah, tidak sadar,
pikiran mereka pun kacau;
namun kita sadar,

kita masih dapat berpikir secara jernih.
Kenapa harus saling membunuh
demi memperebutkan kekuasaan?

Percakapan 2: Lampaui Kegelisahan dengan Menemukan Jati Diri !
Krishna:
Kau tidak berperang untuk memperebutkan kekuasaan;
kau berperang demi keadilan, untuk menegakkan Kebajikan.
Janganlah kau melemah di saat yang menentukan ini.
                                                             Bangkitlah demi bangsa, negeri, dan Ibu Pertiwi.
Arjuna:
Dan, untuk itu aku harus memerangi keluarga sendiri?
Krishna, aku bingung, tunjukkan jalan kepadaku.

Krishna:
Kau berbicara seperti seorang bijak,
namun menangisi sesuatu yang tak patut kau tangisi.
Seorang bijak sadar bahwa kelahiran dan kematian,
dua-duanya tak langgeng.

Jiwa yang bersemayam dalam diri setiap insan,
sungguhnya tak pernah lahir dan tak pernah mati.
Badan yang mengalami kelahiran dan kematian
ibarat baju yang dapat kau tanggalkan sewaktu-waktu
dan menggantinya dengan yang baru.
Perubahan adalah Hukum Alam – tak patut kau tangisi.

Suka dan duka hanyalah perasaan sesaat,
disebabkan oleh panca-inderamu sendiri
ketika berhubungan dengan hal-hal di luar diri.
Lampauilah perasaan yang tak langgeng itu.

Temukan Kebenaran Mutlak
di balik segala pengalaman dan perasaan.
Kebenaran Abadi, Langgeng
dan Tak Termusnahkan.

Segala yang lain diluar-Nya
sesungguhnya tak ada – tak perlu kau risaukan.

Temukan Kebenaran Abadi Itu,
Dia Yang Tak Terbunuh dan Tak Membunuh.
Dia Yang Tak Pernah Lahir dan Tak pernah Mati.
Dia Yang Melampaui Segala dan Selalu Ada.

Kau akan menyatu dengan-Nya,
bila kau menemukan-Nya.
Karena, sesungguhnya Ialah yang bersemayam
di dalam dirimu, diriku, diri setiap insan.

Maka, saat itu pula kau akan terbebaskan
dari suka, duka, rasa gelisah dan bersalah.

Kebenaran Abadi Yang Meliputi Alam Semesta,
tak terbunuh oleh senjata seampuh apapun jua.
Tak terbakar oleh api, tak terlarutkan oleh air,
dan tidak menjadi kering karena angin.

Sementara itu, wujud-wujud yang terlihat olehmu
muncul dan lenyap secara bergantian.
“Keberadaan” muncul dari “Ketiadaan”
dan lenyap kembali dalam “Ketiadaan”.

Jiwa tak berubah dan tak pernah mati;
hanyalah badan yang terus-menerus
mengalami kelahiran dan kematian.
Apa yang harus kau tangisi?

Badanmu lahir dalam keluarga para Satria,
ia memiliki tugas untuk membela negara dan bangsa.
Bila kau melarikan diri dari tanggungjawabmu,
kelak sejarah akan menyebutmu pengecut.

Bila kau gugur di medan perang,
kau akan mati syuhda, namamu tercatat sebagai pahlawan.
Dan, bila kau menang, rakyat ikut merayakan
menangnya Kebajikan atas kebatilan

Sesungguhnya kau tak perlu memikirkan
kemenangan dan kekalahan.
Lakukan tugasmu dengan baik.
Berkaryalah demi kewajibanmu.

Janganlah membiarkan pikiranmu bercabang,
bulatkan tekadmu, dan dengan
keteguhan hati, tentukan sendiri
jalan apa yang terbaik bagi dirimu.

Berkaryalah demi tugas dan kewajiban,
bukan demi surga, apa lagi kenikmatan dunia.
Janganlah kau merisaukan hasil akhir,
tak perlu memikirkan kemenangan maupun kegagalan.

Dengan jiwa seimbang,
dan tak terikat pada pengalaman
suka maupun duka,
berkaryalah dengan penuh semangat!

Bebaskan pikiranmu dari pengaruh luar;
dari pendapat orang tentang dirimu,
dan apa yang kau lakukan.
Ikuti suara hatimu, nuranimu.

Arjuna:
Bagaimana Krishna,
bagaimana mendengarkan suara hati?

Krishna:
Bebas dari segala macam keinginan
dan pengaruh pikiran,
kau akan mendengarkan dengan jelas
suara hatimu – itulah Pencerahan!

Saat itu, kau tak tergoyahkan lagi
oleh pengalaman duka,
dan tidak pula mengejar pengalaman suka.
Rasa cemas dan amarah pun terlampaui seketika.

Krishna:
Ia yang tercerahkan tidak menjadi girang
karena memperoleh sesuatu;
tidak pula kecewa bila tidak memperolehnya.
Dirinya selalu puas, dalam segala keadaan.

Pengendalian Diri yang sampurna
membuatnya tidak terpengaruh oleh
pemicu-pemicu di luar.
Ia senantiasa sadar akan Jati-Dirinya.

Krishna:
Keterlibatan panca-indera dengan
pemicu-pemicu di luar
menimbulkan kerinduan,
kemudian muncul keinginan.

Dan, bila keinginan tak terpenuhi,
timbul rasa kecewa, amarah.
Manusia tak mampu lagi membedakan
tindakan yang tepat dari yang tidak tepat.

Krishna:
Seorang bijak yang tercerahkan
terkendali panca-inderanya,
maka ia dapat hidup di tengah keramaian dunia,
dan tak terpicu oleh hal-hal diluar diri.

Demikian dengan keseimbangan diri,
ia menggapai kesadaran yang lebih tinggi.
Jiwanya damai, dan ia pun
memperoleh Kebahagiaan Kekal Sejati.

Krishna:
Pengendalian Diri menjernihkan pandangan manusia,
ia menggapai kesempunaan hidup.
Saat ajal tiba, tak ada lagi kekhawatiran baginya,
ia menyatu kembali dengan Yang Maha Kuasa.


Percakapan 3 : Berkaryalah tanpa Pamrih!

Arjuna:
Bila Pengendalian Diri dan Penemuan Jati Diri
merupakan tujuan hidup,
maka untuk apa melibatkan diri dengan dunia?
Aku sungguh tambah bingung.

Krishna:
Pengendalian Diri dan Penemuan Jati Diri
memang merupakan tujuan tertinggi.
Namun, kau harus berkarya untuk mencapainya.
Dan, berkarya sesuai dengan kodratmu.

Bila kau seorang Pemikir,
kau dapat menggapai Kesempurnaan Diri
dengan cara mengasah
kesadaranmu saja.

Bila kau seorang Pekerja,
kau harus menggapainya lewat Karya Nyata,
dengan menunaikan kewajibanmu,
serta melaksanakan tugasmu.

Dan, kau seorang Pekerja,
kau hanya dapat mencapai Kesempurnaan Hidup
lewat Kerja Nyata.
Itulah sifat-dasarmu, kodratmu.

Sesungguhnya tak seorang pun dapat
menghindari perkerjaan.
Seorang Pemikir pun sesungguhnya bekerja.
Pengendalian Pikiran – itulah pekerjaannya.

Bila pikiran masih melayang ke segala arah,
apa gunanya duduk diam dan menipu diri?
Lebih baik berkarya dengan pikiran terkendali.
Bekerjalah tanpa pamrih!

Hukum Sebab Akibat menentukan hasil
perbuatan setiap makhluk hidup.
Tak seorang pun luput darinya,
kecuali ia berkarya dengan semangat menyembah.

Alam Semesta tercipta “dalam”
semangat Persembahan.
Dan, “lewat” Persembahan pula
segala kebutuhan manusia terpenuhi.

Bila kau menjaga kelestarian lingkungan,
lingkungan pun pasti menjaga kelestarianmu.
Raihlah kebahagiaan tak terhingga dengan
saling “menyembah” – membantu dan melindungi.

Bila kau hanya berkarya demi kepentingan pribadi,
tak pernah berbagi dan tak peduli
terhadap alam yang senantiasa memberi;
maka seseungguhnya kau seorang maling.

Berkaryalah dengan semangat “menyembah”.
Persembahkan hasil pekerjaanmu pada Yang Maha Kuasa.
Dan, nikmati segala apa yang kau peroleh
dari-Nya sebagai Tanda Kasih-Nya!

Apa yang kau makan, menentukan kesehatan dirimu.
Dan, makanan berasal dari alam sekitarmu.
Bila kau menjaga kelestarian alam,
kesehatanmu pun akan terjaga – inilah Kesadaran.

Waspadai setiap tindakanmu.
Bertindaklah dengan penuh kesadaran.
Inilah Persembahan,
yang dapat mengantarmu pada Kepuasan Diri.

Bila kau puas dengan diri sendiri,
dan tidak lagi mencari kepuasaan
dari sesuatu di luar diri,
maka kau akan berkarya tanpa pamrih.

Sesungguhnya seorang Pekerja tanpa Pamrih
sudah tak terbelenggu oleh dunia.
Jiwanya bebas, namun ia tetap bekerja,
supaya orang laind apat mencontohinya.

Sesungguhnya tak ada sesuatu yang harus “Ku”-lakukan.
Namun, “Aku” tetap bekerja demi Keselarasan Alam.
Bila “Aku” berhenti bekerja, banyak yang akan mencontohi tindakan-“Ku”,
dan “Aku” akan menjadi sebab bagi kacaunya tatanan masyarakat.

Ketahuilah bahwa segala sesuatu terjadi atas Kehendak-Nya.
Tak seorang pun dapat menghindari pekerjaan,
kau akan didorong untuk menunaikan kewajibanmu.
Maka, janganlah berkeras kepala – bekerjalah!

Terpicu oleh hal-hal di luar,
panca-indera pun bekerja sesuai dengan kodrat mereka.
Janganlah kau terlibat dalam permainan itu.
Jadilah saksi, kau bukan panca-indera.

Berkat pengendalian diri bila inderamu
tak terpicu lagi oleh hal-hal luaran,
hendaknya kau tidak membingungkan mereka
yang belum dapat melakukan hal itu.
Biarlah mereka menghindari
pemicu di luar untuk mengendalikan diri.

Berkayalah demi “Aku” dengan
kesadaranmu terpusatkan pada-”Ku”,
bebas dari harapan dan ketamakan -
itulah Persembahan, Pengabdian.

Para bijak berkarya sesuai dengan sifat mereka,
kodrat serta kemampuan mereka.
Demikian mereka terbebaskan dari rasa gelisah,
dan mencapai kesempurnaan hidup.

Berkaryalah sesuai dengan kemampuan serta kewajibanmu.
Janganlah engkau sekadar ikut-ikutan memilih
suatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan sifat dasarmu,
tidak sesuai dengan kemampuanmu.

Arjuna:
Aku memahami semua itu,
namun kadang tetap saja terpicu
untuk melakukan sesuatu yang tidak tepat.
Bagaimana mengatasi hal itu?

Krishna:
Ketahuilah terlebih dahulu penyebabnya -
yaitu “keinginan”, “ketamakan” dan
sifat dasar manusia yang membuatnya bekerja.
Manusia tak dapat berhenti bekerja.

Bila ia tidak bekerja tanpa pamrih,
Ia akan bekerja untuk memenuhi keinginannya.
Ketamakan melenyapkan kesadaran manusia,
akhirnya ia binasa terbakar oleh api nafsunya sendiri

Kunci keberhasilan manusia terletak pada pengedalian diri.
Bila terkendali oleh pancaindera kau pasti binasa.
Ketahuilah bahwa panca indera mengendalikan raga,
namun pikiran menguasai pancaindera.

Di atas pikiran adalah intelek,
kemampuanmu untuk membedakan tindakan
yang tepat dari yang tidak tepat – itulah Kesadaran.
Bertindakalah sesuai dengan kesadaranmu.

Dengan pengendalian diri dan bekerja sesuai dengan kesadaran,
segala keinginan dan ketamakan dapat kau lampaui.
Kemudian setiap pekerjaan menjadi persembahan
pada “Sang Aku” yang bersemayam dalam diri setiap makhluk.


Percakapan 4 : Berkaryalah dengan penuh semangat, namun tetap santai!

Krishna:
Apa yang kusampaikan kepadamu bukanlah hal baru;
sudah berulang kali kusampaikan di masa lalu.

Arjuna:
Apa maksudmu dengan masa lalu? Kapan?

Krishna:
Dari masa ke masa, di setiap masa.
Sesungguhnya kita semua telah berulang kali lahir dan mati,
aku mengingat setiap kelahiran dan kematian.
Kau tidak, itu saja bedanya.

Setiap kali keseimbangan alam terkacaukan,
dan ketakseimbangan mengancam keselarasan alam,
maka “Aku” menjelma dari masa ke masa,
untuk mengembalikan keseimbangan alam.

“Aku” ini bersemayam pula di dalam dirimu,
bahkan di dalam diri setiap makhluk hidup,
segala sesuatu yang bergerak maupun tak bergerak.
Menemukan “Sang Aku” ini merupakan pencapaian tertinggi.

Dengan menemukan jati diri, Sang Aku Sejati,
segala apa yang kau butuhkan akan kau
peroleh dengan sangat mudah.
Berkaryalah dan Keberadaan akan membantumu.

Sesuai dengan sifat dasar masing-masing,
Manusia dibagi dalam 4 golongan utama.
Walau pembagian seperti itu,
Tidak pernah mempengaruhi Sang Jiwa Agung.

Para Pemikir bekerja dengan berbagai pikiran mereka.
Para Satria membela negara dan bangsa.
Para Pengusaha melayani masyarakat dengan berbagai cara.
Para Pekerja melaksanakan setiap tugas dengan baik.

Berada dalam kelompok manapun,
bekerjalah selalu sesuai kesadaranmu.
Jangan memikirkan keberhasilan maupun kegagalan.
Terima semuanya dengan penuh ketenangan.

Bila kau bekerja sesuai dengan kodratmu,
tidak untuk memenuhi keinginan serta harapan tertentu,
maka walau berkarya sesungguhnya kau melakukan persembahan.
Dan, kau terbebaskan dari hukum sebab akibat.

Tuhan yang kau sembah, juga adalah Persembahan itu sendiri.
Dalam diri seorang penyembahpun, Ia bersemayam.
Berkaryalah dengan kesadaran ini,
dan senantiaasa merasakan kehadiran-Nya.

Banyak sekali cara persembahan -
Ada yang menghaturkan sesajen dalam berbagai bentuk.
Ada pula yang menghaturkan kesadaran hewani pada
“Sang Aku” - sejati yang bersemayam di dalam diri.

Bila kau mempersembahkan kenikmatan dunia pada pancaindera,
maka kau menjadi penyembah pancaindera.
Bila kau mengendalikan pancaindera,
maka kau menyembah Kesadaran Murni di dalam diri.

Ada yang mempersembahkan harta, ada yang bertapa,
Ada yang berkorban, ada yang menjauhkan diri dari dunia,
Ada yang sibuk mempelajari kitab suci, ada yang berpuasa.
Apapun yang kau lakukan, lakukanlah dengan kesadaran!

Langkah berikutnya:
Lakoni hidupmu seolah kau sedang melakukan persembahan.
Berkarya dengan penuh kesadaran, itulah Pengabdian.
Cara-cara lain hanya bersifat luaran.

Terlebih dahulu, raihlah kesadaran diri.
Bila kau tidak mengetahui caranya,
Belajarlah dari mereka yang telah sadar.
Untuk itu hendaknya kau berendah hati.

Orang yang sadar tidak pernah bingung.
Pandangannya meluas, penglihatannya menjernih,
ia yakin dengan apa yang dilakukannya,
Sehingga meraih kedamaian yang tak terhingga nilainya.


sumber :  http://www.aumkar.org/ind/?cat=1


 Dasyatnya Doa

 


Selain lebih mendekatkan diri pada Ida Sang Hyang Widhi, rajin berdoa juga mampu meningkatkan keimanan. Bibit sifat baik akan berkembang dan keseimbangan hidup pun terjadi.
Dengan berdoa, batin tenang, timbul rasa damai, lebih bijaksana, tentram, dan keberuntungan pun mewarnai kehidupan. Sayangnya, sadar atau tidak, kita sering lalai atau lupa berdoa. Entah apa alasannya.
Berdoa merupakan cara manusia berkomunikasi dengan Tuhan. Intinya, kita ingin lebih mendekatkan diri, mengucap syukur, berterima kasih, memohon bimbingan, keselamatan, dan berkah. Mungkinjuga, berdoa digunakan sebagai sarana memohon pengampunan atas dosa yang masih membelenggu diri.
Tak jarang pula, doa yang disampaikan diperuntukkan bagi orang-orang yang dikasihi, memohonkan pengampunan bagi mereka yang telah berbuat jahat, semena-mena, melakukan ketidakadilan terhadap diri kita. Coba bayangkan, ternyata kita berdoa untuk berbagai atau begitu banyak keperluan.
Apapun tujuan atau wujud doa yang disampaikan, berdoa sebenarnya upaya kita memperbaiki serta memperkokoh hubungan batin dengan Tuhan. Jika berdoa hanya untuk simbolis atau angan-angan, ini dapat diibaratkan seperti sehelai tali plastik tipis sehingga tinggal menunggu waktu rusak dan akhirnya putus. Tetapi bila berdoa dijadikan suatu kewajiban bagian utama bagi kehidupan, tali plastik tipis dan rentan itu pun perlahan-lahan dan pasti berubah menjadi tali baja yang kokoh dan kuat.
Apa yang didapatkan usai berdoa? Kedamaian atau ketenangan hati yang tak dapat dibayar atau dibeli dengan uang. Dengan demikian, kedamaian atau ketenangan hati merupakan kondisi karena kita berdoa. Hanya itu saja? Tentu tidak.
Kedamaian atau ketenangan hati yang kita dapatkan setelah berdoa tidak akan hilang atau lenyap begitu saja. Sebaliknya, ia menetap dan bersemayam di lubuk hati paling dalam. Bila diibaratkan dengan menanam pohon, berapa kali kita berdoa setiap han berarti telah tertanam sekian banyak pohon. Dan waktu ke waktu, jumlahnya semakin banyak dan akhirnya mampu menjadi pohon peneduh kedamaian dan ketenangan batin bagi diri kita.
Dalam beberapa kitab suci dinyatakan, doa Gayatri Mantra itu sebagai “Ibu” Mantra. Mengapa? Menurut lontar Bisma Parwa, penerima wahyu pertama Gayatri Mantra adalah Maha Rsi Wiswamitra. Gayatri Mantra merupakan mantra weda yang sangat mulia. Mantra ini berjumlah 24 huruf.
Ada 19 kategori tentang sesuatu atau benda yang bergerak maupun tidak bergerak di dunia ini. Jika ditambahkan dengan lima unsur panca maha butha maka terbentuklah 24 huruf Gayatri Mantra yang mencakup seluruh Alam Semesta. Sewaktu teijadi pertempuran Tri Pura Dahana, pertempuran antara para Dewa dengan raksasa, Dewa Siwa menggantungkan bait-bait suci ini di atas keretanya untuk dipakai sebagai pelindung (kober).
Tertera pada lontar Nawama Skandha Dewi Bhagawatha, jika seseorang melantunkan doa Gayatri Mantra secara terus-menerus, dia akan dibebaskan dari semua dosa-dosanya. Mekanisme cara pengucapannya dengan menggunakan karamala (hand rosary) yang terbuat dan biji bunga teratai putih.
Pada zaman Adi Parwa, ada danawa (asura) bernama Aruna memiliki kerajaan Patala (bumi bawah). Dia melakukan tapa sangat berat. Sewaktu bertapa, mantra yang selalu diucapkan adalah Gayatri Mantra dengan waktu sangat lama. Begitu khusyuk ia bertapa sehingga Dewa Brahma menganugerahkan kesaktian. Aruna tidak bisa mati di medan peperangan.
Karena diberi kesaktian tersebut, Aruna menjadi sombong dan arogan. Dia pergi meninggalkan kerajaannya yang berada di bumi bawah, lalu muncul ke permukaan bumi dan menantang kesaktian Dewa Indra. Para Dewa mengutus Rsi Brhaspati (pendeta para dewa) meminta atau menarik Gayatni Mantra yang merupakan kesaktian Aruna.
Akhirnya Dewi Gayatri mengirimkan ribuan tawon buat menyerang membinasakan Aruna. Aruna pun terbunuh bukan dengan senjata, melainkan karena serbuan tawon.
Satya Narayana berpesan: “biasakanlah bangun pagi dengan mengingatkan pikiran pada motto: “Tidur lebih awal dan bangun lebih pagi membuat manusia sehat, makmur, dan bijaksana”. Bangunlah pada saat Brahma muhurtham (jam 03.00 – 06.00 pagi) untuk berdoa. Ini dianggap sebagai waktu Brahma dan waktu paling suci.
Satya Narayana menambahkan lagi, siapa pun yang mengingat Tuhan pada saat menjelang ajal dengan napas terakhir, siapa pun yang mengucapkan nama Tuhan di bibirnya sesaat sebelum mati, akan mencapai Brahman. Ia akan menyatu dengan-Nya. ini pernyataan Sri Krishna dalam Bhagavad Gita.
Seorang manusia yang lebih terikat pada dunia materi daripada Ilahi, tidak akan pernah menyebut nama Tuhan dengan napas terakhirnya. Untuk mengucapkan nama suci Tuhan, seluruh hidup kita harus menjadi sadhana yang disiplin dan pemuja yang baik, bukan hanya sesaat menjelang ajal.
Mulailah pada saat masih muda. Mulailah dari sekarang, jangan ada waktu terbuang percuma.

Sumber : Sarad No.121 Mei 2010. [AA SG Mas Sentani Dewi, Denpasar]



 
 


Di ruang minum teh, seorang murid bertanya ke gurunya. ”Mana jalan tercepat menuju pencerahan?” Gurunya bergumam, ”Minumlah tehmu.”
Setelah teh habis, guru ini lagi-lagi bergumam, ”Sekarang cuci cangkirmu.” Hanya dengan mendengar pesan sederhana itu ternyata sang murid mendapat pencerahan. Bagi orang kebanyakan, cerita itu susah dimengerti. Namun, bagi yang lama bermeditasi, kisah itu mengagumkan.
Pencerahan tidak ada di tempat dan waktu yang jauh, setiap guru tercerahkan mengalaminya saat ini. Pencerahan teramat dekat, serupa buku. Karena teramat dekat, banyak yang tidak bisa membacanya. Pencerahan teramat sederhana, tetapi karena pikiran menyukai kerumitan, banyak yang tidak memercayainya. Mungkin itu sebabnya judul karya klasik Larry Rosenberg (2004) adalah Breath by Breath. Menyatu bersama tarikan dan embusan napas, temukan ketenangan, kelembutan, kesejukan. Baru kemudian mengisi dengan kasih dan kemuliaan.
Penderitaan buatan
Menggunungnya penderitaan manusia—dari penyakit badan, kejiwaan, sampai spiritual—sesungguhnya sebagian lebih ke penderitaan buatan sendiri, bukan alami. Sebutlah seseorang yang kalah dalam pemilihan umum kepala daerah. Kalah ialah penderitaan alami. Namun, marah-marah kepada pemilih, menuduh pemenang dan penyelenggara curang tanpa bukti, menyerang orang, dan akhirnya ditangkap polisi adalah penderitaan lebih besar yang dibuat sendiri.
Ini ciri khas manusia yang belum membadankan kesadaran, kesehariannya teramat sibuk menendang atau mencengkeram. Dukacita, kekalahan, dan hal menjengkelkan lainnya ditendang. Sukacita, kemenangan, dan hal menyenangkan lainnya dicengkeram. Padahal kehidupan serupa gelombang. Gelombang tinggi (baca: kesuksesan dan kemenangan) tidak bisa ditahan dengan keserakahan agar selalu tinggi. Gelombang rendah (kegagalan, kesialan) tak bisa dipaksa kesedihan agar cepat menghilang. Semua akan berputar alami.
Kesadaran dicengkeram, dibawa pergi oleh perasaan dan pikiran. Ini penyebab manusia ketika marah melakukan hal-hal berbahaya. Namun, melalui meditasi, perlahan-lahan kesadaran berpisah dengan pikiran dan perasaan. Kemarahan dan kebencian mirip mata pancing nelayan. Siapa yang menangkapnya susah sekali untuk lepas. Itu sebabnya, mata kesadaran diibaratkan dengan mata ikan yang terus-menerus terbuka. Dalam tidur, mata fisik boleh tertutup, tetapi melalui yoga mimpi, bahkan dalam tidur pun mata kesadaran sebaiknya terbuka. Artinya, kesadaran mendalam bisa membuat seseorang sadar dalam mimpi.
Kendati demikian, meditasi tak membuat seseorang bebas sepenuhnya dari masalah. Bahkan guru paling tecerahkan sekalipun, bila sampai putaran waktunya, akan tetap digoda masalah. Bedanya dengan orang kebanyakan, guru tecerahkan mengolah setiap masalah jadi berkah yang membunyikan bel kesadaran dalam diri. Seperti akar beracun diracik jadi obat.
Tiga jenis manusia
Maka manusia bisa dikategorikan dalam tiga jenis. Pertama, mereka yang melawan kemudian penuh penderitaan. Kedua, yang menyatu dengan setiap putaran kemudian mendapat kedamaian. Ketiga, yang mengolah kejadian menjadi bahan pencerahan.
Seorang sahabat asli Singapura yang bosan melihat keteraturan di negerinya bahagia sekali ketika pertama kali di Bali. Ia tersenyum melihat manusia mengendarai motor tanpa helm atau satu motor dinaiki empat orang.
Bila sahabat Singapura itu orang biasa, ia akan menendang kekiniannya sebagai warga Singapura yang menderita di tengah keteraturan dan mengira orang Bali bahagia. Jika ia guru tercerahkan, mungkin ia melihat pengalaman pencerahan. Keempat warga Bali di satu sepeda motor jelas sekali menyatu dengan tiupan angin, menemukan kedamaian dalam kekinian. Dalam pandangan guru tercerahkan, hidup adalah kasih sayang dalam tindakan. Kesederhanaan satu motor bukan penghalang berputarnya kasih sayang.
Problem manusia kekinian, baru bahagia bila memiliki yang dimiliki orang lain. Atau merasa akan bahagia ketika sejumlah keinginan tercapai. Banyak orang yang tidak berjumpa apa-apa dengan pendekatan ini, bahkan kesembuhan, kedamaian, keheningannya hilang. Diterangi cahaya pemahaman ini, dibanding memperparah kehidupan dengan menendang yang menjengkelkan serta mencengkeram yang menyenangkan, mungkin indah mengingat pesan guru yang bergumam, ”Minumlah tehmu.”
Memeluk lembut kekinian dengan ketenangan, keteduhan, keindahan kasih sayang itulah kesembuhan, kedamaian, keheningan. Mereka yang sudah sampai di sini akan memancarkan cinta ke delapan arah. Berbahagia melihat yang atas berbahagia, berdoa untuk kebahagiaan mereka yang masih di bawah.

Sumber:
KOMPAS - Sabtu, 25 September 2010.
Gede Prama Penulis Buku Pencerahan dalam Perjalanan: Menyirami Bibit-bibit Kesembuhan,Keteduhan, Kedamaian


 Kapan Dunia Kiamat ?

 
 

Tapah param krta yuge
tretayam jnanamuscyate.
Dwapare yajnaewahur
Danamekam kalau yuge.
(Manawa Dharmasastra, I.86).
Maksudnya: Pada zaman Kerta Yuga, dengan bertapalah cara beragama yang paling utama. Zaman Treta Yuga, beragama dengan mengamalkan ilmu pengetahuan suci (jnana) itulah yang paling utama. Zaman Dwapara Upacara, yadnya-lah yang paling utama. Sedangkan pada zaman Kali Yuga, dana punia-lah cara beragama yang paling utama.
PERUBAHAN terjadi karena adanya perjalanan waktu. Waktu terjadi karena adanya peredaran isi alam. Misalnya bumi mengelilingi matahari dan bulan mengelilingi bumi. Demikian juga planet-planet yang lainnya beredar sesuai dengan hukum Rta. Agar hidup ini dapat mengikuti perubahan waktu, sikap hidup pun harus berubah disesuaikan dengan perubahan itu.
Alam ciptaan Tuhan ini memberikan ruang dan waktu pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Seperti pernyataan sloka Manawa Dharmasastra I.86, ada tuntunan cara beragama umat manusia pada setiap zaman. Semua ciptaan Tuhan ditata berdasarkan hukum utpati (tercipta), sthiti (hidup terpelihara) dan pralina (lenyap kembali kepada asalnya). Alam dan isinya ini, setelah masanya selesai beredar dan berputar-putar, akan pralina atau pralaya. Istilah lainnya, kiamat.
Ada suatu kelompok keyakinan yang menyatakan dunia akan kiamat akhir tahun 2009. Ada juga isu-isu yang menyatakan dunia akan kiamat akhir 2012. Pendapat atau pandangan tentang dunia kiamat itu dalam era demokrasi dewasa ini tentunya boleh-boleh saja. Yang patut dijelaskan, bagaimana pandangan Hindu tentang dunia kiamat ini.
Istilah kiamat memang tidak dijumpai dalam ajaran Hindu. Namun, yang mirip dengan konsep kiamat mungkin konsep pralina atau pralaya dalam kitab-kitab Purana. Dalam kitab-kitab Purana, utpati, sthiti dan pralina dibahas secara khusus. Memang terdapat sedikit perbedaan antara Purana satu dan Purana lainnya mengenai konsep ini. Namun, secara umum menyangkut hal-hal yang substansial, semua Purana isinya sama, bahwa semua ciptaan Tuhan ini kena hukum Tri Kona yaitu utpati, sthiti dan pralina itu.
Dalam kitab Brahma Purana misalnya dinyatakan satu hari Brahman (satu kalpa) atau satu siang dan satu malamnya Tuhan lamanya 14 manwantara. Satu manwantara = 71 maha yuga. Satu maha yuga = empat zaman yaitu kerta, treta, dwapara dan kali yuga. Satu maha yuga = 432 juta tahun.
Sekarang peredaran alam semesta sedang berada pada manwantara ketujuh dibawah pimpinan Vaivasvata Manu. Ini artinya pralaya atau kiamat total akan terjadi setelah manu ke-14 berakhir. Manu ke-14 adalah Suci sebagai Indra Savarni Manu.
Empat Konsep
Konsep pralaya dalam Wisnu dan Brahmanda Purana ada dinyatakan empat konsep pralaya yaitu:
* Nitya Pralaya yaitu proses kematian yang terjadi setiap hari dari semua makhluk hidup. Bahkan dalam diri manusia pun setiap detik ada sel tubuhnya yang mati dan diganti dengan sel baru. Sel tubuh manusia terjadi utpati, sthiti dan pralina. Naimitika pralaya adalah pralaya yang terjadi dalam satu periode manu. Menurut pandangan ini akan terjadi pralaya terbatas dalam setiap akhir manwantara. Ini artinya akan terjadi 14 kali naimitika pralaya atau kiamat terbatas atau kehancuran alam secara terbatas.
* Prakrtika Pralaya yaitu terjadinya pralaya secara total setelah manwantara ke-14. Saat terjadinya Prakrtika Pralaya, seluruh alam semesta beserta isinya lenyap dan kembali pada Brahma atau Tuhan yang Mahaesa dalam waktu yang panjang atau satu malamnya Brahma. Setelah itu akan terjadi penciptaan lagi dan memulai dengan manwantara pertama lagi. Prakrtika Pralaya inilah yang mungkin identik dengan konsep kiamat menurut kepercayaan lainnya. Karena, semua unsur alam dengan segala isinya kembali pada Brahman. Menurut keyakinan Hindu, hanya Tuhanlah yang kekal abadi.
* Atyantika Pralaya yaitu pralaya yang disebabkan oleh kemampuan spiritualnya melalui suatu pemberdayaan jnyana yang amat kuat sehingga seluruh dirinya masuk secara utuh lahir batin kepada Tuhan Brahman.
Demikian konsep pralaya (semacam kiamat) menurut Hindu. Yakinlah, pralaya dalam arti Prakrtika Pralaya tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini, apalagi dinyatakan akhir tahun ini atau tahun 2012 mendatang. Sedangkan Nitya Pralaya akan terjadi dalam setiap hari, ada makhluk hidup yang mati dan ada yang lahir.
Untuk menyelamatkan diri dari pengaruh buruk pada setiap perjalanan yuga itu, Swami Satya Narayana menyatakan agar manusia berperilaku seperti zaman atau mengikuti yuga sebelumnya. Misalnya, pada zaman treta, Sri Rama dan para pengikutnya berperilaku mengikuti zaman kerta yuga meskipun Sri Rama hidup pada zaman treta yuga. Sedangkan Rahwana berperilaku seperti zaman kali. Karena itu, Sri Rama dengan pengikutnya selamat hidup di bawah lindungan dharma dan Rahwana hancur karena hidup berdasarkan adharma.
Demikian juga Pandawa dengan Sri Krisna hidup pada zaman dwapara yuga, tetapi perilakunya mengikuti zaman kerta dan treta yuga. Dengan demikian Pandawa dan Sri Krisna memenangkan hidup berdasarkan dharma, sedangkan Korawa hancur karena mengikuti cara hidup yang adharma.
Demikianlah kini, kalau ingin selamat dari pengaruh zaman kali, hiduplah seperti zaman dwapara. Bahkan kalau bisa, ikuti treta atau kerta, maka akan selamatlah dari pengaruh buruk zaman kali. Justru pengaruh baiknya yang akan didapatkan.

(Sumber: I Ketut Wiana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar