Senin, 21 Maret 2016

Sejarah Singkat Dusun Jelijih


Konon ada seorang maharesi yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi dan suci dan beliau tinggal ditempat ini dan beliau memiliki pengikut atau sisia dan karena kemuliaan beliau maka para pengikutnya sangat yakin dengan petunjuknya, dan pada suatu ketika para pengikutnya sangat resah karena kekurangan makanan akhirnya para tokohnya menyampaikan hal itu kepada dang guru dan atas petunjuk Hyang Kuasa agar mohon anugrah di Pura Dalem pada Ibu Dewi Uma di Pura Dalem yang saat itu belum ada istilah Desa Adat dan setelah dilakukan konon diberkati dengan bahan makanan yang berupa biji-bijian yang dikenal dengan buah jali-jali atau jijih jali-jali dan dari jijih-jijih yang banyak dari biji jali-jali itu maka tempat ini kemudian dikenal dengan nama Jelijih yang berasal dari kata:jali (biji jali) dan jijih/jihwa (sumber penghidupan), yang oleh pengikutnya harus dilestarikan ditanam dan untuk melaksanakan itu atas petunjuk yang diberikan dibuatlah sistim sawah karena membutuhkan pengaturan air dan karena itu atas petunjuk Ida Betara Dalem maka sawah itu diberi nama Uma (Ida Betari Uma) dan karena terpetak-petak dengan ujung yang jelas maka disebutlah dia carik dan sebutan pusat pertanian dan para pengikut beliau lebih berkonsentrasi di sana dan pengambilan air yang paling utama saat itu adalah dari hulu dan disebut temuku aya dan oleh itu konon karena itu tempat itu dianggap suci dan memberikan berkah sehingga oleh para leluhur di Megati khususnya meyakini tempat itu sebagai beji sampai sekarang. Berselang berikutnya perkembangan semakin pesat penduduknya karena mereka lebih mempersiapkan makanan untuk menyambung hidupnya sehingga yang berkembang ramai pertama adalah Jelijih dan persawahan pun dibuat semakin luas oleh para pengikutnya dan sesuai etika mereka membuat sawah semakin ke hilir/teben untuk menghormati para pendahulunya dan pada jaman berikutnya ada penduduk tempat lain yang menyusul mengikuti pola tersebut tentunya semakin banyak yang mengikuti untuk pembangunan persawahan namun sebagai etika tetua mereka mereka tidak mau membangun di hulu dari pendahulunya tentunya ke hilir sehingga mereka tidak menggunakan lagi hilirnya persawahan untuk tempat tinggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar