Sabtu, 18 Juni 2022

Menelusuri Jejak Hari Raya Galungan dan Kuningan

Menelusuri Jejak Hari Raya Galungan dan Kuningan

Jauh dulu sebelum sekarang di sebuah desa yang belum terjamah listrik, kehidupan masyarakatnya masih sangat sederhana lalu-lalang sepeda motor masih sangat jarang, jangankan mobil kalau sudah punya sepeda motor pada jaman itu akan terasa sangat istimewa. Jalan desa masih berupa gladag belum ada pengerasan jalan, kalau musim hujan jalan akan berubah seperti kubangan lumpur hanya beberapa ruas yang utuh. Kalau malam menjelang desa berubah menjadi gelap, dan hanya terlihat sinar redup lampu minyak tanah menghiasi dikala malam. Pada keseharian masyarakatnyapun hanya mengkonsumsi makanan yang  masih sederhana, yang penting ada nasi, kalau tidak ada lauk (darang nasi ) uyah lengispun masuk ke perut. Karena pada waktu itu daging adalah lauk yang masih istimewa, dan kita hanya makan daging pada saat ada hari raya agama atau ada upacara yadnya umat.Pada saat jauh hari menjelang hari Galungan masyarakat sudah ramai mempersiapakn segala keperluan hari Galungan, karena pada waktu itu Hari Raya Galungan dan Kuningan adalah hari yang sangat istimewa. Pada waktu itu, jika hari galungan sudah semakin dekat terasa keriangan dan kegembiraan menyelimuti hati, karena akan segera menyambut sang Hari Raya yang jatuh setiap 6 bulan sekali, perasaan haru bercampur gembira. Disaat akan menyambut hari Penampahan Galungan, pada malam harinya bisa-bisa tidak bisa tidur karena selalu terjaga, apakah sudah jam 3 dini hari untuk melihat orang tua kita menyemblih babi dan mendapat kantung kemih babi, untuk di jadkan mainan. Pada pagi harinya semua warga bersemangat untuk mengolah daging babi untuk dijadikan masakan khas Bali : lawar, komoh, anyang, tum, urutan dan yang lainnya, sebagai persembahan punjung/ banten dan sisanya untuk di konsumsi.


Sudah tidak sabar rasanya menunggu 6 bulan lamanya pada waktu itu, untuk merasakan olahan daging babi, karena kita jarang makan daging babi waktu itu. Pada keesoksn harinya yaitu Hari Raya Galungan, para warga dengan tenang dan hening melakukan persembahyangan tanpa ada perasaan dikejar-kejar waktu untuk melakukan hal lain. Dan lain halnya pada saat sekarang orang- orang mulai sibuk untuk kepentingan pekerjaan masing-masing dalam mata pencaharian ataupun hal yang sifatnya pribadi.


Denga tulisan yang singkat tapi agak lebar ini, semoga kita bisa memaknai Sejarah dan Jejak Hari Raya Galungan da Kuningan lebih dalam lagi, tidak hanya menikmati pemandangan luarnya saja, tapi juga mengerti maknanya. Adapula hari Raya Galungan ialah hari dimana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagat raya beserta seluruh isinya. Serta merayakan kemenangan kebaikan (Dharma) melawan kejahatan (Adharma). Sebagai ucapan syukur, umat Hindu  memberi dan melakukan persembahan pada Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara ( dengan segala manifestasinya).
Penjor yang terpasang di tepi jalan setiap rumah merupakan haturan ke hadapan Bhatara Mahadewa.

Arti kata Galungan

 
Diambil dari bahasa Jawa Kuna yang berarti bertarung. Biasa disebut juga " Dungulan" yang artinya menang. Perbedaan penyebutan Wuku Galungan (di Jawa) dengan Wuku Dungulan (di Bali) adalah sama artinya, yakni wuku yang kesebelas.
Kapan Galungan dirayakan pertama kali ?

Asal usul Hari Raya Galungan memang sulit dipastikan kapan tepatnya pertama kali diadakan, oleh siapa dan dimana. Namun menurut Drs. I Gusti Agung Gede Putra selaku mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI memperkirakan Hari Raya Galungan sudah dalam oleh umat Hindu di seluruh Indonesia sebelum populer di Bali. Tapi Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan) di tahun 882 Masehi atau tahun Saka 804. Lontar tersebut berbunyi : " Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804.Bangun indria Buwana ikang Bali rajya". Artinya : " Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka ". Lontar itu sendiri ibarat pustaka suci (yang disucikan)/ kitab pedoman dan di simpan oleh umat Hindu. Galungan dan Kuningan di rayakan sebanyak dua kali dalam setahun kalender Masehi ( kalender Bali). Jarak antara Galungan dan Kuningan adalah 10 hari. Perhitungan perayaan kedua hari raya tersebut berdasarkan kaleder Bali. Hari Raya Galungan jatuh pada Rabu Kliwon, wuku Dungulan, sedangkan Hari Raya Kuningan jatuh pada Sabtu Kliwon, wuku Kuningan.




Makna Hari Raya Galungan dan Kuningan
Secara filosofis, Hari Raya Galungan dimaksudkan agar umat Hindu mampu membedakan dorongan hidup antara Adharma dan Budhi Atma (Dharma = Kebenaran) di dalam diri manusia itu sendiri. Kebahagiaan bisa di raih tatkala memiliki kemampuan untuk menguasai kebenaran.
Dapat kita simpulkan bahwa Hari Raya Galungan adalah hari kemenangan Dharma / kebaikan, melawan Adharma / kejahatan sesuai dengan lontar Sunarigama. Pada hari yang baik ini umat se-Dharma dan yang mempuyai sifat Adharma diajurkan untuk intropeksi diri melihat kedalam diri masing-masing untuk menguatkan pikiran dan memerangi sifat buruk diri sendiri supaya dunia ini tidak semakin kacau dihempas keburukan sifat manusia yang makin marak seiring bumi yang semakin berusia tua. Seperti pepatah orang Bali " yan kePura onyang memutih, sakewale sing tawang ape onyang ditengahne putih". 
Pada hari jumat wage Kuningan yang juga disebut hari Penampahan Kuningan dalam lontar Sundarigama disebutkan dianjurkan untuk melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan " Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah pikiran yang buruk/kotor ). Keesokan harinya yaitu sabtu kliwon atau di sebut Kuningan, dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilakukan pada pagi hari. Serta menghindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa ? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara " diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring swarga).


Demikianlah kurang lebih makna dari Hari Raya Galungan dan Kuningan, yang telah kita jalani semasih usia kita ini, dan juga telah dijalani oleh para pendahulu/ leluhur kita, dari turun temurun hingga sekarang.
Semoga artikel ini dapat menambah pemahaman kita, mengenai makna Hari Raya Galungan dan Kuningan dan dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari, ditengah perkembangan dunia yang semakin tidak bersahabat, terhadap kelangsungan hidup manusia, alam dan lingkungan pada saat sekarang ini. " Om Shanti Shanti Santhi Om "